Minggu, 26 Oktober 2014
Jumat, 17 Oktober 2014
Memayu Hayuning Bawono Dimulai Dari Keluarga
Keluarga adalah bagian terkecil dari struktur organisasi di masyarakat. Keluarga merupakan stage awal kehidupan individu manusia berasal. Oleh karena itu, seseorang dikatakan berhasil dalam hidupnya karena juga didukung oleh keluarga yang berhasil mengantarkan dirinya menjadi berhasil, begitu juga seseorang yang dikatakan gagal dalam hidupnya karena didukung oleh kegagalan dalam keluarganya.
Sebelum kita mendidik siswa kita, didiklah dahulu keluarga kita untuk mengetahui tentang “Apa sebenarnya Setia Hati”. Dengan demikian kita akan mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin kita lakukan ketika kita mendidik siswa tersebut. Selain itu kita memiliki pijakan untuk lebih mantap dan yakin akan apa yang telah kita berikan kepada siswa. Disamping itu, Keluarga merupakan cerminan dari kepribadian kita terhadap keluasan pengetahuan atau ilmu yang kita miliki untuk mengembangkan “Ilmu Setia Hati”.- Keluarga adalah cikal bakal semua Individu berasal. Semua manusia terlahir pastilah memiliki keluarga. Secara sederhana keluarga terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak. Kumpulan keluarga membentuk sebuah kelompok yang dinamakan masyarakat. Perkembangan dari keluarga, masyarakat, berkembang lagi menjadi bangsa dan negara. Dalam skala besar berkembang menjadi bangsa-bangsa atau negara-negara Dunia.
- Keluarga adalah cerminan kehidupan manusia. Semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai suatu pengetahuan atau ilmu, semakin baik pula dirinya mengatur kehidupan rumah tangganya. Sedangkan seseorang yang mengaku memiliki ilmu setinggi gunung tetapi jika kehidupan rumah tangganya berantakan berarti belum mampu untuk mempergunakan ilmunya untuk memayu hayuning bawono.
- Keluarga adalah bukti ketinggian pengetahuan atau ilmu yang dimiliki seseorang. Seseorang yang memiliki pengetahuan atau ilmu; adalah ibarat tanaman padi yang semakin tua semakin berisi, yang semakin tua semakin merunduk, yang semakin tua semakin indah dilihat pandangan mata. Hal ini karena padi tersebut selalu dijaga, dirawat dan diberi pupuk, air dan dilindungi dari segala hal-hal yang bisa mengganggunya. Demikian juga dengan pengetahuan atau ilmu, jika selalu dijaga, diasah dan diamalkan akan menghasilkan suatu kemaslahatan bagi kehidupan manusia tersebut.
Dengan konsep-konsep tersebut diharapkan seluruh Warga SH Terate memandang perlu membentuk keluarga-keluarga yang baik, harmonis, dapat menjadi contoh kehidupan berkeluarga di lingkungannya dan dapat menjadikan keluarga sebagai tempat yang nyaman, aman, bahagia, tentram dalam lahir maupun bathin.
Senin, 28 Juli 2014
Otobiografi Mas Wahyu Subakdiono, Ketua PSHT Cabang Bojonegoro
Mas Wahyu Subakdiono,
Ketua
PSHT Cabang Bojonegoro
Hidup dan Menghidupi
“Goleko urip ojo lali sangune
mati” itulah kalimat wejangan dari Ketua Umum Pusat Persaudaraan Setia Hati
Terate (PSHT) Mas Tarmadji Boedi Harsono (Mas Madji), yang selalu diugemi Wahyu Subakdiono dalam menjalani
kehidupannya. Dan wejangan itu pula yang kemudian membentuk karakter dan
prinsip hidupnya, bahwa selagi masih hidup, manusia tidak boleh berhenti dan
harus terus berkarya. “Manusia itu sudah terlanjur hidup, harus mencari hidup,
agar hidup bisa menghidupi, baik diri sendiri, keluarga dan sumrambah kepada orang lain,” terang Mas
Wahyu.
Wahyu mulai mengenal seni pencak
silat Persaudaraan Setia Hati Terate, sejak usia remaja, tepatnya pada tahun
1973, namun tindak sampai tuntas, karena harus hijrah ke Jakarta untuk
melanjutkan sekolah. Di Ibukota Wahyu mengenyam pendidikan di LPKAJ (sekarang
IKJ – Institut Kesenian Jakarta-red) itupun juga tidak sempat selesai, karena
ditentang oleh pamannya.
Lalu pada tahun 1978, Wahyu pulang
ke Bojonegoro, karena meskipun kedua orang tuanya tinggal di Madiun,
tetapi banyak keluarganya yang berdomisili di Bojonegoro. Meski sempat bergumul
dengan kehidupan metropolitan, ternyata keinginan Wahyu muda untuk belajar seni
beladiri pencak silat masih belum padam. Lalu pada sekitar awal tahun 1979,
Wahyu memutuskan untuk kembali berlatih pencak silat. Karena pada saat itu di
Bojonegoro, belum ada tempat latihan SH Terate , Wahyu mengikuti latihan di
Ngawi.
Selama mengikuti latihan silat di
SH Terate, Wahyu muda yang dipenuhi dengan gelora pemberontakan berobsesi
menjadi seorang pendekar pilih tanding yang mempunyai kesaktian. Namun betapa
kecewanya ia ketika pada tahun 1981 disyahkan sebagai pendekar SH Terate,
kesaktian yang dia dambakan tidak didapatkan.
Memang semula Wahyu berangapan,
bahwa dengan mengikuti latihan pencak silat SH Terate, dia akan mendapatkan
ilmu kanuragan, yang diartikannya sebagai sebuah kesaktian. Dia baru
mendapatkan pencerahan tentang hakekat ilmu SH Terate, saat Wahyu melakukan
silaturahmi kepada tokoh-tokoh sepuh SH Terate, daintaranya RM. Imam
Koesoepangat, Mas Tarmadji Boedi Harsono, dan Mas Murhandoko di Madiun, hingga
ke Malang untuk meminta wejangan dari Mas Harsono, putra pendiri PSHT, Ki
Hadjar Hardjo Oetomo.
Setelah mendapat wejangan dari
para tokoh PSHT, barulah Wahyu menyadari bahwa kesaktian yang didapatkan dari
pelajaran SH Terate bukanlah kesaktian seperti pada film-film laga, tetapi
kesaktian dalam menyadari makna hidup dan kehidupan. “Jika kita mampu menjalani
hidup dengan penuh kesadaran, maka kita akan mampu bertahan dalam setiap
cobaan. Hal itu seperti diwejangan oleh Mas Imam Koesoepangat, Sepiro gedene
sengsoro yen tinompo among dadi coba,” terang Wahyu.
Setelah mendapat wejangan dari
para tokoh PSHT dan benar-benar memahami tentang hakekat ilmu SH Terate. Pada
tahun 1981, Wahyu mulai menyambung silaturahmi dengan sedulur-sedulur
PSHT yang ada di Bojonegoro. Akhirnya bersama Mas Suryono BEI, Mas Sutrisno,
dan Mas Sriyanto, Mas Wahyu mulai membuka tempat-tempat latihan di beberapa
desa dan kecamatan, lalu merintis mendirikan cabang SH Terate di
Bojonegoro.
Upaya Wahyu dan warga SH Terate lainnya untuk membangun organisasi PSHT di
Bojonegoro yang mantap dan diperhitungkan, bukanlah sebuah pekerjaan yang
ringan, berbagai tantangan dan persoalan social muncul, namun berkat istiqomah
dan berpegang pada prinsip-prinsip ajaran SH Terate yang lebih mengedepankan
persaudaraan, semua masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan damai.
Meskipun menjadi salah satu pemrakarsa terbentuknya PSHT di Bojnegoro, Wahyu
mengawali kiprah dalam organisasi PSHT Bojonegoro, mulai dari bawah. Yakni
menjadi pengurus Ranting, kemudian dipercaya oleh saudara-saudara
seperguruannya untuk menjadi Ketua Ranting Kota, lalu masuk dalam jajaran
pengurus cabang, menjadi wakil ketua I, sekretaris, dan pada 2003 dipercaya
untuk menjadi Ketua Cabang PSHT Bojonegoro hingga saat ini. Hal itu sesuai
dengan wejangan orang tuanya yaitu R. Djiwoto yang selalu mengingatkan bahwa
perjalanan hidup seorang manusia itu untuk mencapai kemulyaan harus mulai
proses dari bawah.
Saat awal-awal menjadi Ketua Cabang PSHT Bojonegoro, Wahyu mencoba membuat
berbagai inovasi dan terobosan-terobosan untuk lebih membesarkan organisasi
PSHT di Bojonegoro. Untuk melakukan itu, program pertama yang dilakukan Wahyu
adalah menidentifikasi masalah yang terjadi baik di internal organisasi PSHT
Bojonegoro, maupun masalah secara umum yang melibatkan PSHT Bojonegoro.
Dari hasil indentifikasi masalah itulah kemudian Wahyu, menyusun visi
organisasi PSHT Bojonegoro, yakni; Menuju Pencitraan PSHT Bojonegoro yang lebih
baik, Berprestasi, Mandiri, Sejahtera dan Berkarakter. Untuk menwujudkan visi
tersebut, Wahyu mempunyai gagasan untuk membentuk pusat komunikasi antara
ranting dengan cabang. Hal ini penting, karena menurut Wahyu, komunikasi adalah
kunci dalam menyelesaikan persolan yang ada.
Untuk mendorong agar tercipta komunikasi yang intens, maka dibangunlah sebuah
gedung sekretariat yang representative dan nyaman, maka dibangunlah gedung
secretariat SH Terate Bojonegoro yang megah. Berdirinya gedung secretariat yang
megah itu tidak lepas dari kepiawaian Wahyu dalam mengelola sumber dana yang
dimiliki PSHT Bojonegoro.
Wahyu menyadari bahwa potensi yang dimiliki PSHT Bojonegoro cukup besar, jika
itu tidak dikelola dengan mamagemen yang baik, tentu akan menjadi sia-sia.
Setiap tahun masyarakat Bojonegoro yang bergabung dengan SH Terate semakin
banyak, dan siswa yang disyahkan menjadi warga PSHT setiap tahun juga selalu
mengalami penikingkatan hingga mencapai angka ribuan, hal itu tentu membuat kas
organisasi menjadi semakin besar.
“Dari kas yang bersumber dari siswa SH Terate itulah gedung SH Tertae ini dibangun,
jadi pada prinsipnya gedung SH Terate ini milik masyarakat Bojonegoro, karena
bersumber dari siswa yang notabene adalah warga masyarakat Bojonegoro, bukan
hanya warga SH Terate,” terang Wahyu.
Wahyu menekankan, bahwa pendapatan SH Terate berasal dari masyarakat, maka
sebesar-besarnya harus bisa dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Dari
itulah maka diwujudkan sebuah gedung PSHT yang berdiri di atas lahan 2.400
meter persegi, dengan berbagai fasilitas di dalamnya, diantaranya adalah lapangandi
belakang gedung yang juga bisa dimanfaatkan untuk olah raga futsal dan
ruang pertemuan atau hall yang berada di lantai II.
Wahyu merasa bukanlah manusia sempurna, yang tidak pernah salah dan gagal.
Namun terlepas dari segala kelemahannya, terbukti Wahyu Subakdiono, mampu
membawa PSHT Bojonegoro menjadi sebuah organisasi yang cukup diperhitungkan,
tidak saja di dunia persilatan tetapi juga sektor lainnya. Meski demikian,
penggarapan di sektor ideal dalam bentuk penyebaran ajaran budi luhur lewat
Persaudaraan Setia Hati Terate tetap menjadi prioritas kebijakan. Dan hasilnya,
sejak mengemban amanah sebgai Ketua Cabang, perkembangan jumlah siswa dan warga
PSHT selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hingga saat ini jumlah
anggota PSHT di Bojonegoro mencapai sekitar 45 ribu orang.
Untuk meningkatkan kualitas dan wawasan SDM pengurus PSHT, mulai dari ranting
hingga cabang di luar ajaran ke-SH-an, Wahyu secara rutin melakukan pelatihan
kapasitas angota dengan menghadirkan nara sumber yang berkopenten di bidangnya,
misalnya masalah pemahaman hukum, ilmu kemasyarakatan, kewirausahaan dan
lain-lain.
Dari hasil itu, terbentuklah berbagai paguyuban, forum dan lembaga yang
bernaung di bawah organisasi besar Persaudaraan Setia Hati Terate, diantanya
adalah, Paguyuban Pamong Praja Warga Terate Bojonegoro (Pawojo), yang terdiri
dari warga SH Terate yang menjabat sebagai Kepala Desa dan Perangkat desa,
Forum Komunikasi Intelektual Terate, Pasukan Pengaman Internal (Paspanter), dan
Lembaga keuangan Koperasi Setia Hati Terate (Sehat).***
Otobiografi H. Tarmadji Boedi Harsono
Hidup tak ubahnya seperti air.
Bergerak mengalir dari hulu, berproses, menuju muara. Begitupun perjalanan
hidup H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E. Siswa kinasih R.M. Imam Koesoepangat
(peletak dasar reformasi ajaran Persaudaraan Setia Hati Terate) ini, layaknya
sebagai manusia lumrah telah berproses melewati perjalanan waktu liku-liku
dalamnya. Atas proses serta bimbingan langsung dari RM. Imam Koesoepangat itu
pulalah, akhirnya akhirnya mencapai puncak tataran ilmu Setia Hati dan dan
dipercaya menjadi Ketua Umum Pusat empat periode berturut-turut sejak, sejak
tahun 1981 hingga tahun 2000. H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E, lahir di Madiun,
Februari 1946. Ia merupakan anak sulung dari enam bersaudara, dari keluarga
sederhana dengan tingkat perekonomian pas-pasan. Ayahnya, Suratman, hanyalah
seorang pegawai di Departemen Transmigrasi, sedangkan ibunya, Hj. Tunik hanya
sebagai ibu rumah tangga. Dari latar belakang keluarga ini, dia pun melewati
masa kecil penuh kesederhanaan. Namun ketika Tarmadji Boedi Harsono beranjak
dewasa, kekurangan ini justru melahirkan semangat juang tinggi dalam merubah
nasib, hingga dia berhasil menjadi seorang tokoh cukup diperhitungkan. Sosok
tokoh yang tidak saja diperhitungkan di sisi harkat dan martabatnya, akan
tetapi juga berhasil menyeruak kepermukaan dan mampu mengenyam kehidupan cukup
layak dan wajar.
Masa kecil
H.Tarmadji Boedi Harsono,S.E, sendiri berjalan biasa-biasa saja, laiknya
seorang bocah. Di kalangan teman sepermainannnya, dia dikenal sebagai anak
pemberani dan nakal. Bahkan sejak duduk di bangku kelas 3 SD Panggung Madiun,
Tarmadi (demikian dia punya nama kecil) sudah berani berkelahi di luar.
Kenakalannnya berlanjut hingga ia masuk SMP. Bahkan ketika duduk di SMU I
Madiun, ia pernah diancam akan dikeluarkan dari sekolah jika tetap senang
berkelahi.
Yang agak
berbeda dibanding teman seusia adalah, kesukaan dia bermain dengan teman yang
usianya jauh lebih tua. Barangkali karena kesukaannya ini, kelak menjadikan
cara berpikir Tarmadji Boedi Harsono cepat kelihatan dewasa.
Masuk
Persaudaraan Setia Hati Terate
Tarmadji
Boedi Harsono mulai tertarik pada olah kanuragan (beladiri), saat berusia 12
tahun. Ceritanya, saat itu, tahun 1958, di halaman Rumah Dinas Walikota Madiun
digelar pertandingan seni beladiri pencak silat (sekarang pemainan ganda). Satu
tradisi tahunan yang selalu diadakan untuk menyambut hari proklamasi
kemerdekaan. Tarmadji kecil sempat kagum pada permainan para pendekar yang
tanpil di panggung. Terutama R.M Imam Koesoepangat, yang tampil saat itu dan
keluar sebagai juara.
Sepulang
melihat gelar permainan seni bela diri beladiri pencat silat itu, benaknya
dipenuhi obsesi keperkasaan para pendekar yang tampil di gelangggang. Ia
bermimipi dalam cita rasa dan kekaguman jiwa kanak-kanak. Cita rasa dan
kekaguman itu, menyulut keinginan dia belajar pencak agar agar menjadi pendekar
perkasa. Sosok pendekar sakti sekaligus juara, persis seperti yang tergambar
dalam benaknya.
Kebetulan
tidak jauh dari rumahnya, tepatnya di Paviliun Kabupaten Madiun (rumah keluarga
R.M. Koesoepangat, terletak bersebelahan dengan Pendopo Kabupaten Madiun) ada
latihan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate. Pelatihnya adalah R.M.
Imam Koesoepangat. Selang sepekan sejak menonton permainan seni pencak silat di
halaman Rumah Dinas Walikota itu, Tarmadji Boedi Harsono memberanikan diri menemui
R.M Imam Koesoepangat, meminta agar diperbolehkan ikut latihan ikut latihan.
Namun, permintaan itu ditolak dengan alasan usianya masih terlalu muda.
Saat itu,
ada tata tertib, yang boleh mengikuti latihan Persausaraan Setia Hati Terate
adalah anak dengan usia 17 tahun ke atas (sudah dewasa). Atau anak yang sudah
duduk di bangku SLTA . Ia baru diperbolehkan ikut latihan pada tahun
berikutnya, yakni tahun 1959. Kebetulan adik mas Imam, R.M. Abdullah
Koesnowidjojo (mas gegot), juga ngotot ingin ikut latihan. Untuk menemani,
Tarmadji, akhirnya diperbolehkan ikut latihan, dengan syarat, harus menempati
baris paling belakang, bersama-sama dengan Mas Gegot.
Kesempatan
pertama yang diberikan padanya, benar, tak disia-siakan. Hari-hari setelah
diizinkan ikut latihan, boleh dibilang, dipenuhi gerak dan langkah Persaudaraan
Setia Hati Terate. Apalagi jadwal latihan saat itu belum terformat seperti
sekarang ini. Kadang siang hari, sepulang R.M. Imam Koesoepangat dari
pekerjaannya. Tidak jarang, ia berlatih di malam hari hingga waktu fajar. Satu
hal yang cukup mendukung proses latihaimya adalah kedekatan tempat tinggalnya
dengan Pavilium. Ini karena rumah keluarga Tarmadji hanya terpaut sekitar 200
meter arah barat dari Paviliun. Terlebih, R.M. Abdullah Koesnowidjojo sendiri
merupakan teman akrabnya. Hampir setiap hari, ia bermain di Pavilium dan setiap
pukul 13.00 WIB, ia dan R.M. Abdullah Koesnowidjojo, telah menunggu kepulangan
Mas Imam (panggilan akrab R.M. Imam Koesoepangat) di beranda Pavilium. Begitu
melihat Mas Imam pulang, ia langsung menyalaminya dan bersabar menunggu sang
pelatih makan siang. Kadang harus bersabar pula menunggu cukup lama, karena Mas
Imam perlu istirahat selepas kerja.
Berhari-hari,
berbulan bahkan bertahun, ketekunan dan kesabaran serupa itu dilakukannya.
Obsesinya hanya satu, ia ingin menjadi pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate.
Seorang pendekar yang tidak saja menguasai ilmu beladiri, tapi juga mengerti
hakikat kehidupan. la ingin tampil menjadi sosok manusia seutuhnya. Manusia
yang cukup diperhitungkan, menjadi teladan bagi sesama. Dan,jalan itu kini
mulai terbuka. Tarmadji Boedi Harsono tidak ingin menyia-nyiakannya
Ketekunan
dan kemauan kerasnya itu, menjadikan R.M. Imam Koesoepangat menaruh perhatian
penuh padanya. Perhatian itu ditunjukkan dengan seringnya dia diajak
mendampingi beliau melakukan tirakatan ke berbagai tempat, kendati saat itu
masih siswa dan belum disyahkan.
Dari
Paviliun ini, Tarmadji Boedi Harsono kecil, selain belajar pencak silat, juga
mulai menyerap ajaran tatakrama pergaulan dalam lingkup kaum ningrat. Satu
tatanan pergaulan kelompok bangsawan trah kadipaten pada zamannya. Pergaulannya
dengan R.M. Imam Koesoepangat ini, membuka cakrawala baru baginya. Tarmadji
yang lahir dan berangkat dari keluarga awam, sedikit demi sedikit mulai belajar
tatakrama rutinitas hidup kaum bangsawan. Dari tatakrama bertegur sapa dengan
orang yang usianya lebih tua, bertamu, makan, minum. hingga ke hal-hal yang
berbau ritual, misalnya olahrasa (latihan mempertajam daya cipta) atau laku tirakat.
Dalam istilah lebih ritual lagi, sering disebut sebagai tapa brata, di samping
tetap tekun belajar olah kanuragan.
Salah satu
pesan yang selalu ditekankan R.M. Imam Koesoepangat setiap kali mengajak dia
melakukan tirakatan adalah; “Jika kamu ingin hidup bahagia, kamu harus rajin
melakukan tirakat. Disiplin mengendalikan dirimu sendiri dan jangan hanya
mengejar kesenangan hidup. Nek sing mokgoleki senenge, bakal ketemu sengsarana.
Kosokbaline, nek sing mokgoleki sengsarane, bakal ketemu senenge (Jika kamu
hanya mengejar kesenangan kamu akan terjerumus ke lembah kesengsaraan.
Sebaliknya jika kamu rajin berlatih, mengendalikan hawa nafsu tirakatan, kelak
kamu akan menemukan kebahagiaan). Ingat, Sepira gedhening sengsara, yen tinampa
amung dadi coba (Seberat apa pun kesengsaraan yang kamu jalani, jika diterima
dengan lapang dada, akan membuahkan hikmah).
Berangkat
dari Pavilum ini pula, dia mulai mengenal tokoh Persaudaraan Setia Hati Terate,
seperti Soetomo Mangkoedjojo, Badini, Salyo (Yogyakarta). Murtadji (Solo),
Sudardjo (Porong) dan Harsono (putra Ki HadjarHardjo Oetomo -pendiri PSHT),
Koentjoro, Margono, Drs. Isayo (ketiganya tinggal di Surabaya, serta Niti
(Malang). Di samping mulai akrab dengan sesama siswa Persaudaraan Setia Hati
Terate. Di antaranya, Soedibjo (sekarang tinggal di Palembang), Sumarsono
(Madiun), Bambang Tunggul Wulung (putra Soetomo Mangkoedjojo, kini tinggal di
Semarang), Sudiro (alm), Sudarso (alm), Bibit Soekadi (alm) dan R.M. Abdullah
Koesnowidjojo (alm).
Suatu malam,
tepatnya sepekan sebelum dia disyahkan, Soetomo Mangkoedjojo datang ke
rumahnya. Padahal saat itu malam sudah larut dan ia sendiri mulai beranjak
tidur. Mendengar suara ketukan di pintu, ia pun bangkit, membukakan pintu. la
sempat kaget saat mengetahui yang datang adalah tokoh Persaudaraan Setia Hati
Terate. Namun ketika dipersilakan masuk, Soetomo Mangkoedjojo menolaknya dan
hanya berpesan,” Dik, persaudaraan nang SH Terate, nek ana sedulure teko, mbuh
iku awan apa bengi, bukakno lawang sing amba. Mengko awakmu bakal entuk
hikmahe, ” (Dik, Persaudaraan di Setia Hati Terate itu, jika ada saudara
datang, entah itu siang atau malam, bukakan pintu lebar-lebar. Nanti, engkau
bakal mendapatkan hikmah.)”
Pesan dari
tokoh peletak dasar organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate itu, hingga di
hari tuanya,seolah-olah terus terngiang dalam benaknnya. Pesan itu pulalah yang
menjadikan dirinya setiap saat selalu bersedia membukakan pintu bagi warga
Persaudaraan Setia Hati Terate yang bertandang ke rumahnya di Jl. MT. Haryono
80 Madiun, hingga saat ini.
Setelah
berlatih selama lima tahun, yakni pada tahun 1963, Tarmadji Boedi Harsono
disyahkan menjadi Pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate Tingkat I,
bersama-sama Soediro,Soedarso, Bibit Soekadi, Soemarsono, Soedibjo, Bambang
Tunggul Wulung dan R.M Abdullah Koesnowidjojo.
Turun ke
Gelangang
Keberhasilan
Tarmadji Boedi Harsono meraih gelar Pendekar Tingkat I, tidak menjadikan
dirinya besar kepala. la justru menerima anugerah tersebut dengan rasa syukur
dan tetap tawakal. la berprinsip, keberhasilan itu barulah awal dari
perjalanannya di dunia ilmu kanuragan. Masih banyak hal yang harus
dipelajarinya. Dan, itu hanya bisa dilakukan jika ia tetap tekun berlatih dan
belajar. Pilihannya sudah bulat. Maknanya, ia pun harus mampu melanjutkan
perjalanan hingga ke titik akhir.
Pada tahun
1961, Tarmadji mulai masuk ke gelanggang pendulangan medali pencak silat dan
berhasil meraih juara I dalam permainan ganda tingkat kanak-kanak se Jawa
Timur, berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo. Sukses itu, diulang lagi
tahun 1963. Di tahun yang sama, sebenamya Tarmadji berkeinginan turun ke
pertandingan adu bebas di Madiun, akan tetapi Mas Imam melarang. la sempat
menangis karena dilarang ikut bertanding. Tahun 1966, pasangan Tarmadji dan RB.
Wijono kembali ikut kejuaraan yang sama di Jatim. Namun ia sombong sebelum
bertanding. Meremehkan lawan. Akibatnya, gagal mempertahankan juara dan hanya
berhasil merebut juara II. Kesombongan berbuah kehancuran. Kegagalan
mempertahankan gelar ini, menjadikan dirinya malu berat dan tidak mau mengambil
tropi kejuaraan.
Kasus serupa
terulang lagi pada tahun 1968, saat mengikuti kejuaraan di Jember. Padahal
sebelum berangkat Mas Imam sudah memperingatkan agar ia tidak usah ikut karena
kurang persiapan. Namun Tarmadji nekat berangkat. Dan, hasilnya adalah
kekalahan yang menyedihkan, karena hanya berhasil menjadi Juara harapan.
Kegagalan
demi kegagalan mempertahankan gelar juara, menjadikan Tarmadji sadar bahwa
sombong dan meremehkan lawan hanya akan menuai kekalahan. Untuk itu ia musti
berlatih lagi. Pempersiapkan diri sebelum bertanding. Hasilnya, ia kembali
mampu merebut juara I di Pra PON VII, Surabaya. Di PON VII, ia meraih juara
III.
Pengalaman
bertanding di gelanggang ini merupakan bekal Tarmadji melatih altet pada tahun-tahun
tujuh puluhan. Bahkan pada tahun 1978, ia memberanikan diri menerjunkan altet
ke gelanggang pertandingan, kendati Mas Imam, kurang sependapat. Dalam kurun
waktu 1974-1978, Mas Imam sempat mengambil kebijakan tidak menurunkan atlet ke
gelanggang. Namun pada tahun 1978, Tarmadji memberanikan diri membawa atlet
asuhannya ke gelanggang. la pula yang berhasil meyakinkan Mas Imam, bahwa
Persaudaraan Setia Hati Terate masih tetap diperhitungkan di gelanggang
kejuaraan. Terbukti, sejumlah atlet asuhannya, berhasil meraih medali
kejuaraan.
Sementara
itu, di luar ketekunannya memperdalam gerak raga, Tarmadji Boedi Harsono kian
khusyuk dalam memperdalam olah rasa. Hubungan dekatnya dengan R.M Imam
Koesoepangat, memberi kesempatan luas pada dirinya untuk memperdalam Ke-SH-an.
Jika dulu, ketika belum disyahkan menjadi pendekar tingat I, ia hanya diajak
mendampingi Mas Imam saat beliau melakukan tirakatan, sejak disyahkan ia mulai
dibimbing untuk melakukan tirakatan sendiri. Beberapa tatacara dan tatakrama laku
ritual mulai diberikan, di samping bimbingan dalam menghayati jatidiri di
tengah-tengah rutinitas kehidupan ini.
Di
penghujung tahun 1965, setamat Tarmadji Boedi Harsono dari SMA, semangatnya
untuk memperdalam ilmu Setia Hati kian menggebu. Bahkan di luar perintah R.M
Imam Koesoepangat, ia nekat melakukan tirakat puasa 100 hari dan hanya makan
sehari satu kali.waktu matahari tenggelam (Magrib). Ritual ini ditempuh karena
terdorong semangatnya untuk merubah nasib. la ingin bangkit dari kemiskinan. la
tidak ingin berkutat di papan terendah dalam strata kehidupan. la ingin
diperhitungkan.
Genap 70
hari ia berpuasa, R.M Imam Koesoepangat memanggilnya. Malam itu, ia diterima
langsung di ruang dalem paliviun. Padahal biasanya Mas Imam hanya menerimanya
di ruang depan atau pendopo. Setelah menyalaminya, Mas Imam malam itu meminta
agar ia menyelesaikan puasanya. Menurut Mas Imam, jika puasanya itu diteruskan
justru akan berakibat fatal.”Dik Madji bisa gila, kalau puasanya diteruskan.
Laku itu tidak cocok buat Dik Madji,” ujar Mas Imam.
“Di samping
itu,” lanjut Mas Imam,” Dik Madji itu bukan saya dan saya bukan Dik Madji.
Maka, goleko disik sangune urip Dik, lan aja lali golek sangune pati (carilah
bekal hidup lebih dulu dan jangan lupa pula mencari bekal untuk mati).”
Kemudian
dengan bahasa isyarat (sanepan) Mas Imam memberikan petunjuk tata cara laku
tirakat yang cocok bagi dirinya. “Api itu musuhnya air, Dik,” ujar Mas Imam.
Sanepan itu kemudian diterjemahkan oleh Tarmadji dalam proses perjalanan
hidupnya, hingga suatu ketika ia benar-benar menemukan laku yang sesuai dengan
kepribadiannya. la menyebut, laku tersebut sebagai proses mencari jati diri
atau mengenal diri pribadi. Yakni, ilmu Setia Hati.
Malam itu
juga, atas nasihat dari R.M Imam Koesoepangat, Tarmadji mengakhiri laku
tirakatnya. Pagi berikutnya, ia mulai keluar rumah dan bergaul dengan
lingkungan seperti hari-hari biasanya. Enam bulan berikutnya, ia mulai mencoba
mencari pekerjaan dan diterima sebagai karyawan honorer pada Koperasi TNI AD,
Korem 081 Dhirotsaha Jaya Madiun. Pekerjaan ini dijalaninya hingga tahun 1971.
Pada tahun
1972, ia berpindah kerja di Kantor Bendahara Madiun, namun hanya bertahan
beberapa bulan dan pindah kerja lagi di PT. Gaper Migas Madiun pada paroh tahun
1973. Setahun kemudian, ia menikah dengan Hj.Siti Ruwiyatun, setelah dirinya
yakin bahwa honor pekerjaannya mampu untuk membina mahligai rumah tangga. (Dari
pemikahannya ini, Tarmadji Boedi Harsono dikaruniai tiga orang putra. Yakni
Dani Primasari Narendrani,S.E, Bagus Rizki Dinarwan dan Arya Bagus Yoga
Satria).
Di tempat
kerja yang baru ini, tampaknya, Tarmadji menemukan kecocokan. Terbukti, ia bisa
bertahan lama. Bahkan pada tahun 1975 ia ditunjukkan untuk menjadi semi agen
minyak tanah dan diberi keleluasaan untuk memasarkan sendiri. Berawal dari
sini, perekonomian keluarganya mulai kokoh. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa
menyisihkan penghasilannya, hingga pada tahun 1976 berhasil membeli armada
tangki minyak tanah sendiri. Berkat keuletan dan perjuangan panjang tanpa kenal
menyerah, pada tahun 1987, Termadji Boedi Harsono diangkat menjadi agen resmi
Pertamina. Dalam perkembangannya, ia bahkan berhasil dipercaya untuk membuka
SPBU (Pom Bensin) di Beringin Ngawi. Bahkan di dunia bisnis migas ini, ia
ditunjuk memegang jabatan sebagai Ketua III, DPD V Hiswana Migas dengan wilayah
kerja Jawa Timur, Bali, NTT dan NTB.
Tampaknya
dunia wirausaha memang tepat baginya. Ini bisa dilihat lewat pengembangan sayap
usahanya, yang tidak hanya berkutat dibidang migas,tapi juga merambah ke dunia
telekomunikasi dengan mendirikan sejumlah Wartel (warung telekomunikasi).
Malahan di bidang ini, ia ditunjuk debagai Ketua APWI (Asosiasi Pengusaha
Wartel Indonesia) untuk daerah Madiun dan sekitamya.
Di sela-sela
kesibukan kerja Tarmadji Boedi Harsono tetap mengembangkan Persaudaraan Setia
Hati Terate. Bahkan, tidak jarang ia rela mengalahkan kepentingan keluarga dan
pekerjaannya demi Persaudaraan Setia Hati Terate. “Persaudaraan Setia Hati
terate adalah darah dagingku. la sudah menjadi bagian dari hidupku sendiri,”
tutumya.
Sementara
itu, kebiasaan nyantrik di kediaman R.M Imam Koesoepangat terus dijalani.
Kepercayaan dan perhatian Mas Imam sendiri setelah ia berhasil menyelesaikan
pelajaran tingkat I, semakin besar. Sampai-sampai kemana pun Mas Imam pergi, ia
selalu diajak mendampinginya. Tahun 1970 ia disyahkan menjadi pendekar
Persaudaraan Setia Hati Terate tingkat II. Tahun 1971, Tarmadji dipercaya
menjadi Ketua Cabang Persaudaraan Setia Hati Terate Madiun. Jabatan tersebut
dijalani hingga tahun 1974.
Latihan
Tingkat III
Pada suatu
siang, sekitar pukul 11.00 WIB, di Tahun 1978, Tarmadji dipanggil R.M Imam
Koesoepangat di rumah Pak Badini. Orang yang diminta memanggil dia adalah
Soebagyo.TA. Tanpa berpikir dua kali, ia berangkat ke Oro-Oro Ombo, tempat kediaman
Pak Badini. Mas Imam mengutarakan niat, akan membuka latihan tingkat III.
Tarmadji sendiri yang dipilih untuk dilatih sekaligus diangkat dan disyahkan
menjadi Pendekar Tingkat III.
“Kula
piyambak,Mas? (Saya sendiri,Mas?)” tanya Tarmadji agak kaget.
“Njih.Dik.
Dik Madji piyambak!, (Ya, Dik. Hanya Dik Tarmadji sendiri!)” jawab Mas Imam.
Mendengar
jawaban itu, Tarmadji dengan santun, menolak. la tidak bersedia disyahkan
menjadi Pendekar Tingkat III jika sendirian. “Kula nyuwun rencang. Mas (Saya
minta teman,Mas), “Tarmadji meminta.
“Nek Dik
Madji nyuwun rencang, sinten? (Kalau Dik Madji minta teman, siapa?)” tanya Mas
Imam.
Tarmadji
saat itu langsung menyebut nama-nama Pendekar Tingat II seangkatan. Namun Mas
Imam menolak dan bersikukuh tetap hanya akan mengangkat Tarmadji sendiri.
Terjadi tarik ulur. Satu sisi Mas Imam bemiat hanya akan mengangkat dia, namun
Tarmadji tetap minta teman.
“Sapa Dik,
kancamu?” tanya Mas Imam. Tarmadji menyebut nama Soediro.
Nama ini pun
semula ditolak. Namun atas desakan dia, akhimya Mas Imam menyetujui dengan
syarat ia harus mau ikut menangung risiko. Dalam pikiran Tarmadji, apa yang
disebut risiko, waktu itu adalah risiko pembiayaan yang terkait dengan
pengadaan persyaratan pengesahan (ubarampe). Karenanya, ia langsung menyanggupi.
Hari-hari
berikutnya, Tarmadji dan Soediro, mulai berlatih tingkat III. Pelaksanaan
latihan berjalan lancar. Namun pada saat mereka disyahkan, sesuatu yang tidak
diinginkan terjadi. Sesuatu itu, adalah hal yang di luar perhitungan akal
sehat. Sesuatu yang erat kaitannya dengan misteri ghaib. Tarmadji tidak pemah
menduga bahwa misteri itu akan berbuntut panjang. Dan, Wallahu a’lam bi ssawab,
hanya Allah yang Maha Mengerti. Temyata dalam perjalan hidup, Soediro lebih
dulu dipanggil Yang Kuasa.
Peristiwa
itu, sungguh, sangat menggetarkan jiwa Tarmadji. Pedih rasanya. Lebih pedih
lagi, saat ia melihat Mas Imam menangis di samping jenazah saudara
seperguruannya itu. Semoga anrwah beliau diterima di sisi-Nya.
Dipercaya
Memimpin Organisasi
Keberhasilannya
mempelajari ilmu tertinggi di organisasi tercinta ini, menambah dirinya kian
mantap, kokoh dan semakin diperhitungkan.
Cantrik
setia R.M Imam Koesoepangat yang di waktu-waktu sebelumnya selalu tampil di
belakang ini, sejak berhasil menyelesaikan puncak pelajaran di Persaudaraan
Setia Hati Terate, mulai diterima dan diperhitungkan di kalangan tokoh
organisasi tercinta. Sejalan dengan kapasitasnya sebagai Pendekar Tingkat ni,
ia mulai dipercaya tampil ke depan dengan membawa misi organisasi. Tahun 1978 Tarmadji
dipilih menjadi Ketua I, mendampingi Badini sebagai Ketua Umum Persaudaraan
Setia Hati Terate. Puncak kepercayaan itu berhasil diraih pada MUBES
Persaudaraan Setia Hati Terate Tahun 1981. Yakni dengan terpilihnya ia menjadi
Ketua Umum Pusat.
Setahun setelah
Tarmadji Boedi Harsono memimpin organisasi, sejumlah terobosan yang
dimungkinkan bisa mendukung pengembangan sayap organisasi diluncurkan.Salah
satu produk kebijakan yang dilahirkan adalah pendirian Yayasan Setia Hati
Terate lewat Akta Notaris Dharma Sanjata Sudagung No. 66/1982. Yayasan Setia
Hati Terate merupakan komitmen organisasi untuk andil memberikan nilai lebih
bagi masyarakat, khususnya di sektor ril. Dalam perkembangannya, di samping
berhasil mendirikan Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate di atas lahan
seluas 12.290 m yang beriokasi di Jl. Merak Nambangan Kidul Kodya Madiun,
yayasan ini juga mendirikan dua lembaga pendidikan formal Sekolah Menengah Umum
(SMU) Kususma Terate dan Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Kusuma
Terate serta lembaga pendidikan ketrampilan berupa kursus komputer.
Sedangkan
untuk meningkatkan perekonomian warganya, Tarmadji Boedi Harsono meluncurkan
produk kebijakan dalam bentuk koperasi yang kemudian diberi nama Koperasi
Terate Manunggal.
Hingga saat
ini, Yayasan Setia Hati Terate telah memiliki sejumlah aset, antara lain tanah
seluas 12.190 m2 yang di atasnya berdiri sarana dan prasarana phisik seperti:
gedung Pendapa Agung Saba Wiratama, gedung Sekretariat Persaudaraan Setia Hati
Terate, gadung PUSDIKLAT (Sasana Kridangga), gedung pertemuan (Sasana
Parapatan), gedung Training Centre (Sasana Pandadaran), gedung Peristirahatan
(Sasana Amongraga), Kantor Yayasan Setia Hati Terate, gedung SMU dan SMTP
Kusuma Terate, gadung Koperasi Terate Manunggal dan Mushola Sabaqul Khoirot.
Searah
dengan itu, pergaulannya dengan para tokoh Persaudaraan Setia Hati Terate pun
semakin diperluas. Beberapa tokoh berpengaruh di organisasi tercinta didatangi.
Dari para tokoh yang didatangi itu, ia tidak saja mampu memperdalam olah gerak
dan langkah Persaudaraan Setia Hati Terate, tapi juga menerima banyak wejangan
kerokhanian. Bahkan saat Tarmadji Boedi Harsono dipercaya untuk memimpi
Persaudaraan Setia Hati Terate, sejumlah tokoh yang dulu pemah dihubunginya itu
dengan rela menyerahkan buku-buku pakem Ke-SH-an yang mereka tulis sendiri
Wejangan,
baik lisan maupun tulisan, dari para tokoh dan sesepuh ini dikemudian hari
dijadikan bekal dalam memimpin Persaudaraan Setia Hati Terate. Dan terlepas
dari segala kelemahannya, terbukti Tarmadji Boedi Harsono mampu membawa
Persaudaraan Setia Hati Terate menjadi sebuah organisasi yang cukup
diperhitungkan tidak saja di dunia persilatan tapi juga di sektor lainnya.
Sementara
itu, penggarapan di sektor ideal dalam bentuk penyebaran ajaran budi luhur
lewat Persaudaraan Setia Hati Terate tetap menjadi prioritas kebijakan. Dan
hasilnya pun cukup melegakan. Terbukti, sejak tampuk pimpinan organisasi di
pegang oleh Tarmadji Boedi Harsono, Persaudaraan Setia Hati Terate yang semula
hanya berkutat di Pulau Jawa, sejengkal demi sejengkal mulai merambah ke
seluruh pelosok tanah air. Bahkan mengembang lagi hingga ke luar negeri.
Tercatat hingga paroh tahun 2000, Persaudaraan Setia Hati Terate telah memiliki
146 cabang di 16 provinsi di Indonesia, 20 komisariat di perguruan tinggi dan
manca negara dengan jumlah anggota mencapai 1.350.000 orang.
Yang patut
dipertanyakan adalah, misteri apa berpusar dibalik keberhasilan dia membawa
Persaudaraan Setia Hati Terate ke tingkat yang lebih terhormat dan cukup diperhitungkan.
Jawabnya, temyata ada pada tiga titik inti yang jika ditarik garis lurus akan
membentuk misteri segi tiga. Titik pertama berada di Desa Pilangbango, Madiun
(kediaman Ki Hadjar Hardjo Oetomo – titik lahimya Persaudaraan Setia Hati
Terate), titik kedua berada di Pavilium Kabupaten Madiun (kediaman R.M Imam
Koesoepangat – titik perintisan Persaudaraan Setia Hati Terate) dan titik
ketiga berada di Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate Jl. Merak Nambangan
Kidul Kodya Madiun – titik H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E mengembangkan
Persaudaraan Setia Hati Terate.
Kiprah di
Luar Persaudaraan Setia Hati Terate
Tampaknya
memang bukan H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E, jika ia hanya puas berkutat dengan
prestasi yang dicapai di dalam organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate.
Sebagai bagian dari anggota masyarakat, ia pun terbukti tampil cukup
diperhitungkan. Tokoh yang mendapatkan gelar sarjana ekonomi dari Unmer Madiun
ini juga andil di organisasi masyarakat. Bahkan sempat menduduki sejumlah
jabatan cukup strategis hampir di setiap organisasi yang diikutinya.
Di sisi
lain, kariermya di bidang politik juga cukup matang. Terbukti ia dipercaya
menjadi wakil rakyat Kodya Madiun (anggota DPRD) hingga dua periode. Masing-
masing periode 1987 -1992 dananggotaDPRDKodyaMadiunperiode 1997 – 1999. Puncak
prestasi yang berhasil diraih di bidang politik ini tercipta pada tahun 1998,
di mana H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E diberi kepercayaan untuk tampil 1 sebagai
salah seorang Calon Wali Kota Madiun
Sementara itu, menyadari dirinya adalah seorang
muslim, pada tahun 1995 ia bersama istri tercinta, Siti Ruwiatun berangkat ke
tanah suci Mekah Al Mukaromah menjadi tamu Allah, menunaikan rukun Islam yang
kelima, yakni ibadah haji. Ibadah ini kembali diulang pada tahun 2000. Sepulang
menjalankan ibadah haji, ia dipercaya memimpin IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia) Kodya Madiun.
Langganan:
Postingan (Atom)